Oleh Fajar Siddik

Salah satu tanah surga di dunia, begitu orang-orang mengatakannya. Daratannya ditumbuhi berbagai tumbuhan yang indah dan berguna tinggi. Mulai dari bunga-bunga eksotis, pepohonan yang menjulang tinggi nan kokoh, sayur-sayuran hingga buah-buahan memanjakan setiap manusia yang menginjak daratannya. Melangkah jauh ke tepi dataran rendah mulai terlihat pantai-pantai dengan pasir putih yang tak segan merayu setiap makhluk untuk memanjakan setiap hasratnya. Lautannya dalam dan dingin seakan paham bahwa setiap makhluk indah di dalamnya butuh perlindungan, menjadikan setiap makhluk di dalamnya tak ada yang tak istimewa. Langitnya anggung menggoda bagaikan putri yang selalu berhasil membuat setiap lelaki tergoda untuk mencapai ketinggiannya. Gunung-gunung pun terlihat begitu misterius, membuat setiap petualang bernafsu untuk membongkar keagungannya. Berpuluh tahun lalu sekelompok manusia yang merasa senasib menyebut salah satu tanah surga itu Indonesia.

Tergambar jelas di atas bahwa tanah ini pantas menjadi tempat diturunkannya sang Adam dari surga. Betapa tidak, kekayaan dan keistimewaannya mempercundangi tanah-tanah idaman di negeri dongeng. Namun, gambaran kekayaan dan keistimewaan tanah itu adalah prakondisi sebelum manusia mulai mendidik pikiran untuk memanfaatkannya dengan maksimal. Ya, memang adam dan manusia ditakdirkan tinggal di tanah yang dibalut dengan oksigen dan seluruh elemen hingga disebut sebagai bumi. Manusia sebagai mandataris pengelola bumi  membuat tanah surga yang disebut Indonesia tadi juga berhak dikelola manusia-manusia diatasnya. 

Al-kisah, berabad lalu, tanah surga yang belum lagi menamai dirinya sebagai Indonesia hidup bebas memanfaatkan kekayaan alam. Seiring berjalannya pengetahuan, manusianya mulai sadar bahwa alam tak termanfaatkan secara maksimal, itu disebabkan tidak adanya pengelolaan. Kemudian  sekelompok orang mulai membentuk koloni dan mengangkat seorang diantaranya sebagai raja. Ada kerajaan yang mampu mengelola manusia bawahannya dan alam dengan baik dan ada juga yang malah menindas manusia bawahannya. Kesuksesan sebuah kerajaan ditentukan dari bagaimana rajanya mengambil kebijakan dalam hal pemanfaatan kekayaan alam.

Dipertengahan abad ke-16, kekayaan dan keistimewaan tanah ini menggoda manusia yang berasal jauh dari belahan bumi barat. Manusia barat yang terlebih dahulu dikunjungi perjalanan pengetahuan tersebut mulai mempengaruhi setiap manusia bahkan setiap kerajaan untuk melanggengkan maksud mereka. Maksud mereka sangat besar, mengeksploitasi semua kekayaan lalu membawa hasilnya ke tanah mereka. Mereka hanya meninggalkan bekas-bekas devide et impera dan kebiasaan meninda-tertindas.  Ketergodaaan manusia dari belahan bumi barat ini menjadi awal perkenalan manusia di tanah surga ini dengan “penjajahan (kolonialisme)”.

Pengetahuan terus melangkahkan kaki-kakinya dan akhirnya bertemu dengan beberapa manusia di tanah surga itu. Dengan berbagai cara mereka mengorbankan segalanya untuk terus mengikuti kemanapun pengetahuan berjalan. Sampai pada suatu saat, perjalanan bersama pengetahuan turut menjumpakan mereka dengan kata dan makna “merdeka”. Mereka terus mengikuti perjalanan pengetahuan hingga tidak hanya sekedar jumpa dengan kata dan makna “merdeka”, tetapi juga harus mengenal baik dan dapat menjadi sahabat seumur hidup.

Singkat cerita, manusia di tanah surga ini mulai berkenalan dengan “merdeka” dan mengambil kata “Indonesia” sebagai nama yang merepresentatifkan semua manusia pribumi yang merasa senasib tersebut. Berbagai pergolakan dan pertaruhan terjadi pada masa ini, hingga “devide et impera” yang masih membekas itu pun membuat Indonesia merasakan “perang saudara”. Lalu perang saudara ini termanfaatkan pihak luar yang bertopengkan kesejahteraan dan kemakmuran, tapi itu hanya topeng! Seperti pepatah lama, “tak ada makan siang yang gratis” membuat berbagai pihak yang ada di Indonesia harus membayar “makan siangnya”, tak peduli jika harus mengorbankan “makan siang”  manusia pribuminya. Maka, “merdeka” seakan tinggal kata, tak ada lagi makna yang dapat diambil.

Tepat pada 17 Agustus 2015, indonesia sudah beranjak hingga 70 tahun semenjak kata “merdeka” dicanangkan. Sudah tua jika dibandingkan dengan umur manusia biasa. Indonesia  yang tua ini berpenyakit, mulai dari penyakit biologis, ideologis, hingga penyakit sosial. Dengan umur setua ini, jika tidak jua ditemukan formula yang dapat menyembuhkannya, dengan berat hati maka hanya akan tinggal menunggu azalnya. 

Mulai dari penyakit biologis, Indonesia yang dahulunya bagaikan tanah surga sudah menjadi tanah yang tak lagi ramah. Kebakaran, kekeringan, pemanasan global, tanah-udara-air yang tercemar polusi terakumulasi menjadi penyakit kronis. Berangkat ke penyakit ideologis, pancasila yang digadang mampu mengikat keberagaman juga belum membuktikan kesaktiannya. Isu keberagaman agama, politik kotor, sampai melemahnya daya pikir nan kreatif pemudanya sudah cukup menjadi bukti. Yang terakhir dan yang paling penting untuk rakyat kelas bawah, yaitu penyakit sosial. Sebenarnya penyakit ini merupakan turunan dari penyakit biologis dan ideologis. Tak perlu ditunjukkan bukti, hanya berjalan tidak sampai 100 meter dari rumah, masing-masing dari kita pasti menemukan buktinya. 

Pihak-pihak yang paham akan ideologis kemudian mendapatkan kekuasaan struktural di Indonesia terlihat tidak mampu mengatasi masalah yang ada. Anjloknya rupiah terhadap dollar hingga hutang mencapai  Rp 4.000 Trilliun menguatkan praduga bahwa penguasa struktural di Indonesia tidak lagi mampu berbuat banyak. Kemudian timbul sebuah pertanyaan, “Inikah awal dari perjumpaan Indonesia dengan azalnya?”. Ketika pertanyaan itu dilontarkan, maka jawaban yang paling tepat adalah “masih banyak pemuda yang siap mengabdikan tenaga dan pikirannya untuk perbaikan Indonesia beserta warganya, jadi ini bukan awal perjumpaan Indonesiaa dengan azalnya”. Jika penguasa struktural tidak lagi mampu membahagiakan warganya dan memperbaiki Indonesianya, maka ini saatnya pemuda untuk melakukan aksi caretaker. Aksi caretaker tersebut bukanlah sebuah makar, pemuda yang masih memegang teguh idealisme sungguh tidak selera dengan kekuasaan struktural, jadi ini bukan makar.

Maka, jika timbul pertanyaan “kita merdeka?”. Maka dengan nada lantang, pemuda harus mengatakan bahwa “kita merdeka!”. Kita merdeka dari setiap ketertindasan. Kita merdeka dalam berpikir, menulis dan bertindak. Jika kebanyakan manusia Indonesia sudah tidak mampu lagi menemui kemerdekaan yang  bermakna “Indonesia berdiri di kaki sendiri”,maka pemuda harus mampu membentuk aksi merdeka dengan caranya sendiri, seminimal mungkin merdeka sejak dalam pikiran. Kemudian, kemerdekaan sejak dalam pikiran tersebut dapat mengembalikan Indonesia kepada citra awalnya, yaitu bagaikan tanah surga untuk manusia diatasnya. Bangkitlah pemuda! Merdekalah dirimu! Rangkul-lah Indonesia dan seluruh manusianya untuk menuju pada sebenar-benarnya kemerdekaan!

Posting Komentar

 
Top