Oleh Fajar Siddik


Apapun itu, setiap yang menumpang hidup di bumi pasti akan menemui kehancurannya. Hancur memang selalu memiliki perspektif yang berbeda untuk setiap orang. Hancur tak selalu diartikan sebagai musnahnya suatu hal. Ada pula yang mendefinisikan hancur sebagai hilangnya intisari, hanya tinggal kerangka. Bagaimanapun perspektif setiap orang tentang hancur, tidak akan pernah ada satu hal pun ingin mengalami kehancuran dan secara alami akan membentuk proteksi.

Indonesia mewakili setiap hal yang hidup di dalamnya untuk ikut membuat proteksi guna mempertahankan diri dari sebuah kehancuran, sebab Indonesia masih menumpang di bumi. Namun jika setiap hal di Indonesia tidak peka akan hadirnya ancaman kehancuran, proses alami untuk menciptakan proteksi tidak akan pernah memiliki wujud. Ya, salah satu syarat munculnya proses alami dari menciptakan proteksi adalah peka atau mampu mengindikasi hadirnya ancaman kehancuran tersebut.

Beberapa pekan ini, ancaman kehancuran sudah “mengetuk” pintu gerbang kedaulatan Indonesia. Mulai dari anjloknya rupiah yang kemudian mengautomasikan datangnya krisis. Krisis ini kemudian menghadirkan bala lain untuk rakyat-rakyat kecil; harga bahan pokok meroket dan PHK gencar terjadi. Jika sudah begini, kehancuran rakyat kecil sudah membunyikan genderang. Namun ini belum menjadi bukti kuat hancurnya Indonesia. Kata “orang langit” di Indonesia, itu hanya rakyat kecil, garis marginalitas masih kuat menjadi vaksin untuk menghambat tertularnya rakyat besar dari kehancuran rakyat kecil. Kemudian, berbondong-bondong tenaga kerja asing memasuki lapangan kerja industri. Semakin menguatkan garis marginalitas rakyat kecil.

Tanpa mengurangi rasa empati dan hormat kepada rakyat kecil yang termarjinalkan tadi, kenyataan memang mengatakan bahwa itu belum cukup menjadi tanda dari hancurnya Indonesia. Lalu apa yang menjadi tanda-tanda hadirnya ancaman kehancuran untuk Indonesia? Perlahan akan dikupas apa yang menjadi sinyal bahaya untuk ancaman kehancuran Indonesia dan bahaya tersebut juga pernah diperingatkan oleh Ibn Khaldun dalam buku Muqaddimah.

Pertama, ketahuilah bahwa negara hanya dapat berdiri tegak dengan bantuan solidaritas sosial. Solidaritas sosial ini harus memiliki solidaritas yang besar dan terpusat, kemudian membawahi solidaritas sosial yang lebih kecil. Maka, yang terjadi di Indonesia sungguh jauh dari keadaan ideal yang telah tergambar. Pembahasan harus dimulai dari solidaritas terbesar atau yang berada di pusat. Solidaritas sosial terbesar ini diisi oleh semua “orang langit” yang telah disebutkan di atas. “Orang-orang langit” ini saling bertarung memperebutkan kekuasaan, kemudian kekuasaan yang berhasil direbut digunakan sebagai ajang memperbanyak pundi-pundi materi. Perebutan kekuasaan ini merupakan antitesis dari upaya memperkuat solidaritas sosial. Setelah pusat solidaritas sosial tadi mengalami disorientasi, maka kelompok solidaritas sosial dibawahnya akan mengikuti tingkah laku mereka. Kemudian hancurlah solidaritas sosial diantara rakyat-rakyat. Rakyat-rakyat hanya akan peduli terhadap nasib sosialnya masing-masing. Jadi, tidak adanya perekat solidaritas sosial di Indonesia secara resmi termaktubkan sebagai ancaman hancurnya Indonesia.

Kedua, kehancuran yang datang melalui uang. Perlu juga diketahui bahwa awal mula terbentuknya negara tidak membutuhkan kemewahan dan perbelanjaan yang boros. Pada awal negara terbentuk memiliki kasih sayang yang dalam terhadap rakyatnya. Maka di usia ke-70 tahun, “orang-orang langit” yang memimpin negara ini sudah mengenal kemewahan, kemudian perbelanjaan yang boros akan menjadi konsekuensinya. Tedensi ini meluas kepada rakyat-rakyatnya. Sebagai suatu hal yang alami, rakyat akan mengikuti pola tingkah yang diberikan pemimpinnya. Baik “orang-orang langit” maupun rakyat telah terbiasa dengan sebuah kemewahan. Mulai terkena candu bahan dan barang produksi asing. Kemudian pesona bahan-bahan dan barang-barang produksi rakyat kecil tidak mampu bersaing dengan pesona milik asing. Hal tersebut kemudian menjadi biang dari berkurangnya pendapatan negara dan semakin memperbanyak belanja negara.

Kedua hal tersebut sudah terjadi di Indonesia, apakah Indonesia akan segera “bersalaman” dengan kehancurannya? Seperti kesepakatan di awal, setiap orang berhak menentukan perspektif dari makna sebuah kehancuran. Dalam hal ini, jika perspektif kehancuran dilihat dari sebuah kedaulatan Indonesia, maka jawabannya Indonesia telah hancur. Indonesia sudah tidak lagi berdaulat, ketundukan terhadap asing tidak mampu lagi diatasi.

Kondisi Indonesia yang sudah lemah akan kedaulatan ini akan mengundang negara asing untuk menguasainya. Lalu, apakah Indonesia akan kembali terjajah? Tentu saja tidak, secara fisik. Penjajahan secara fisik akan menghabiskan banyak energi dan uang. Keadaan Indonesia dewasa ini dapat dijajah dengan mudah secara sistem dan Indonesia sedang dijajah sistem kedaulatannya. Negara asing pasti berpikir bahwa untuk apa berenang menyusuri sungai penuh bahaya jika ada jembatan yang terbujur indah.

Sama seperti hancur tadi, apapun perspektif yang memaknainya, setiap hal di bumi ini enggan mengalaminya. Begitu juga dengan terjajah, apapun perspektif yang memaknainya, siapapun juga enggan mengalaminya. Maka, jika Indonesia dan seluruh hal terkait tidak juga memperbaiki dua kondisi di atas, maka Indonesia akan segera menemui kehancurannya.

Posting Komentar

 
Top