Oleh Krisna Savindo

Sejatinya seseorang baru akan benar benar hidup ketika dia telah meninggalkan, sama halnya Seorang besar acapkali baru terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Kemudian kita sering pula terlambat menyadarinya. Masih banyak tokoh bangsa yang belum kita ketahui sebagai bagian dari perpustakaan pengetahuan kita akan tokoh sejarah terutama di Negara ini. Entah karena pengaburan sejarah, atau kita yang tidak kritis akan sejarah.

Salah satu tokoh yang sempat dilupakan namanya itu adalah RM. Tirto Adhi Suryo, dia adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum mardeka.

Saya pribadi pada awalnya tidak mengenai tokoh ini. Mulanya saya diperkenalkan oleh salah satu tim dari Manusia Cita sebagai Bapak Pers Nasional, hal ini pula yang menjadi landasan kami memulai blog Manusi Cita sperti yang telah dijelaskan pada halam tentang blog ini.

Nama lengkapnya Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo terlahir di Blora tahun 1880, dari keluarga aristokrat Jawa. Bapaknya, seorang Bupati bernama RM Tirtodipuro. Djokomono, nama kecilnya. Dia seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.. 

Satu hal yang membuatnya beruntung, karena asal muasal kastanya, adalah kesempatan mendapatkan pendidikan Eropa, sehingga ia bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya ‘kuno dan menindas’, dengan kultur ‘modern yang membebaskan’. Namun Djokomono kecil tak mengenal kedua orang tuanya dengan baik, sejak kecil ia hidup berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain yang memiliki jabatan-jabatan penting pemerintahan di Jawa. Sosok tertinggi yang ia hormati adalah sang nenek seorang perempuan agung, yang dengan gagah berani menghadap Gubernur Jendral Hindia Belanda, memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya, seorang Bupati di Bojonegoro. Sang nenek lah yang memberinya petuah-petuah berharga: percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan kehilangan pangkat. Sikap Tirto yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya: bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari pergaulan saudara-saudaranya. Terutama, setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan jabatan bapaknya.

Pada masanya Tirto adalah seorang pribadi pemula dalam segala hal. Dia lebih dikenal oleh segelintir orang sebagai perintis pers. Padahal, tangannya lah yang menciptakan hampir seluruh senjata bagi perubahan ke arah dunia modern. Tirto merupakan seorang pribumi pertama yang mendirikan NV (sebagai bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, perintis bidang periklanan, perintis emansipasi kaum perempuan, sekaligus pendiri SDI  Serikat Dagang Islam), cikal bakal SI  Serikat Islam, organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia.

Dalam kondisi sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern, Tirto lah sang pemulanya.  seorang penggelisah dan sendiri. Agaknya ia memang terlahir untuk membebaskan. Budaya tulis menghantarkannya pada dunia yang agung dan gemilang. Sebagai seorang jurnalis pribumi pertama yang menulis dengan bahasa Melayu lingua franca. Ia adalah jurnalis yang jangkauan gagasannya melambung jauh melebihi zamannya. Di tangannya, pers menjelma sebagai senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menyebut bahwa Tirto lah orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tak berlebihan kiranya menyebut Tirto sebagai inisiator kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisau: koran dan organisasi.

Tentang Tirto pernah juga diungkap oleh Takahe Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang Bumi Putra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.

Dia juga mendapat banyak tempat dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Danang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarika Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara juga mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Kemudian Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya yang berjudul Sekilas Perjuangan Suratkabar yang terbit November 1958, menggambarkan Tirto Adhi Soerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Perjuangan beliau dalam memperjuangkan yang diyakininya sema hidup tidak pula semudah kita membaca kisah hidupnya saat ini. Hambatan dan perjuangan untuk mencapai cita-citanya sejak mula cukup panjang hingga apa yang dia inginkan dapat diwujudkannya.

Baca Juga
Medan Prijaji - Sebagai Wahana Perjuangan Tirto Adhi Suryo - Sang Pemula Selengkapnya...

Posting Komentar

 
Top