Oleh Krisna Savindo

Seperti yang telah disampaikan pada artikel sebelumnya Sang Pemula Tirto Adhi Suryo - Pembeda Yang Terlupakan. Tirto Sebagai sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia, melakukan perjuangan yang ia yakini melalui penanya yang tajam.

Perlu kita ketahui bahwa sejak mula cita-citanya cuma satu yaitu membuat surat kabar sendiri, sebagai suluh penerang bagi bangsanya. Hal tersebut yang menjadi semangat sepanjang perjuangannya. Sayang, semua selalu terbentur dengan ketiadaan dana. Pada tahun 1903 barulah dapat ia wujudkan dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat dengan ide-idenya, berdirilah surat kabar yang diberi nama Soenda Berita, yang merupakan urat kabar pertama yang didirikan, dikelola dan diterbitkan oleh orang pribumi. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan pembaca memasuki dunia modern.

Pada tahun 1905, Tirto mengembara ke Maluku. Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja Bacan, Princess Fatimah, seorang perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa Belanda; seseorang yang kelak kemudian menjadi anggota redaksi Medan Priyayi. Sepulang dari Maluku, tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial warisan JP Coen, sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi lebih lugas, lebih garang. Pada tahun 1907, ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah mingguan sederhana berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Ia memulai sebuah gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan memiliki saham perusahaan bernama NV Medan Priyayi. Itu lah yang menjadi bentuk perniagaan pertama yang didirikan pribumi.

Selang setahun kemudian, mingguan Medan Priyayi berubah menjadi harian. Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri, radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan pribumi. Semangatnya dalam menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan semakin berkobar. Tulisan-tulisannya makin berani dan tajam. Ia, yang sangat mengagumi Max Havelaar, sebagai orang yang mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang dikemas politik etis. Pemerintah kolonial murka. Disebabkan tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto sempat dibuang ke Lampung, selama 3 bulan. Saat itu, hampir seluruh aktivis yang berani membuka kedok kekuasaan kolonial ke media massa sempat dijebloskan ke penjara. Mereka dijerat pers-delict, dianggap mengganggu rust en orde kolonial. Mas Marko, seorang jurnalis muda radikal, 4 kali mendekam di tahanan lantaran tulisan-tulisannya.

Sekembalinya dari pembuangan, Tirto membenahi NV Medan Priyayi yang sempat terbengkelai. Pada tahun 1907 ia mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama, yang kemudian berubah menjadi SDI untuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. Pada tahun 1911, ia berkeliling ke kota-kota besar pusat modal pribumi untuk mengorganisir pembentukan cabang-cabang SDI. Untuk itu, kepemimpinan SDI, untuk sementara, diserahkan pada H. Samanhudi, seorang saudagar batik terkemuka di Solo. Peranan Tirto sebagai pendiri SDI dikikis oleh H Samanhudi sendiri. Pemerintah kolonial, yang sangat membenci Tirto, lewat DA Rinkers, seorang ilmuwan Belanda yang mengabdi pada politik kolonial, membantu mengaburkan fakta ketokohan Tirto. Hingga, kemudian, Samanhudi lah yang lebih dikenal sebagai pendiri SDI yang, kemudian, berkembang pesat dan berubah menjadi SI.

Gerakan perempuan juga menjadi komitmen Tirto. Pada tahun 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia, yang melahirkan nama Siti Soendari, sebagai penulis termahsyur. Siti Soendari, berpendidikan Belanda, lebih memilih menjadi perempuan merdeka, yang bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua, yang menawarkan segala fasilitas dan kemudahan. Jadi-lah Soendari sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Sebarisan srikandi yang bertarung melawan kekuatan zaman bermunculan. Di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran ‘Sunting Melayu”. Selain lewat koran, menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan juga harus dimulai lewat sekolah, ia menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

1909-1912, adalah titik puncak kegemilangan surat kabar harian Medan Priyayi. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Suatu masa yang sangat dicita-citakan Tirto sejak mudamenyaksikan bangsanya bangkit dari kebodohan dan ketertindasan hampir saja tercapai. Tetapi, karena gangguan kolonial, Medan Priayi, alat propaganda dan pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh satu per satu dan omsetnya terus merosot; setoran dari para pelanggannya macet; beberapa perusahaan menolak pasang iklan. Medan Priyayi tak mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, Agustus 1912, Medan Priyayi gugur secara dramatis. Seperti diistilahkan Pram, “semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Sang tokoh ditahan lantaran tak mampu melunasi tunggakan hutang. Sebagai hukumannya, ia dibuang ke Ambon pada tahun 1913. Dua tahun berikutnya ia baru kembali ke Jawa, ketika semuanya telah berubah. Jaman terus bergulir. Organisasi makin banyak bermunculan, puluhan tokoh namanya terderek naik, menyesaki rongga ingatan rakyat. Pergerakan nasional hampir mencapai titik terangnya.

Barangkali memang sudah menjadi sebuah kelaziman sejarah, manusia-manusia berjiwa agung harus mengakhiri periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan. Apakah itu Galileo, yang mati di tiang gantung; Marx, Soekarno, juga Chairil Anwar, yang mati di ujung perih dan sepi. Djokomono Tirto Adhi Soeryo, meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun. Tak ada yang pernah memeriksa, sekalipun kawan-kawan dekatnya adalah dokter-dokter termahsyur pada masanya. Ia telah terlunta-lunta, sendiri. Hotel Medan Priyayi, miliknya, yang semula banyak menghidupi surat kabarnya, telah berpindah tangan ke sahabatnya sendiri Gunawan, ketika ia masih dalam pengasingan. Tirto bertahan sampai wafatnya di sana, karena itu lah satu-satunya tempat ‘miliknya’ yang bisa dituju. Ia tak punya lagi sanak saudara. Tirto yang, menurut propaganda kolonial, sangat berbahaya kondisinya sudah rapuh dan papa, membuat semua sahabatnya menjauh.

Pada tanggal 7 Desember 1918, seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto Adhi Soeryo, lambat laun mengalun.

Maka benar bahwa seseorang baru akan memulai kehidupannya setelah dia tiada, walau butuh beberapa waktu untuk seorang manusia tersebut dapat hidup kembali.

Kini Tirto Adhi Suryo telah terbaring tenang. Pram menuliskan dalam Sang Pemula: 

“ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?”

#PahlawanNasional #BapakPers #HariPersNasional #MedanPrijaji #MedanPriyayi #SangPemula

Posting Komentar

 
Top