oleh Fajar Siddik
Konsistensi
alam dalam mempertahankan keidelaitasannya berjalan dengan begitu langgam. Menghangatkan
di musim panas, menyejukkan di musim dingin. Alam selalu punya cara untuk
berlaku adil pada setiap warganya. Idealitas yang langgam itu adalah sebuah
bukti yang nyata betapa hidupnya alam dibawah kekuasaan penuh sang pencipta,
Tuhan!
Berbeda
dengan alam yang kooperatif pada warganya tidak mutlak berlaku sebaliknya. Tapi
tidak pula seluruh jenis warganya yang tidak kooperatif pada alam, karena
sejatinya alam dibawah kekuasaan penuh Tuhan mengambil heterogenitas untuk
menjadi warganya. Manusia, hewan, tumbuhan adalah mayoritas dari heterogenitas
tersebut. Hewan dan tumbuhan selalu senang mengikuti keidealitasan alam sebagai
wujud kooperatif pada alam. Namun, manusia dengan kekerdilan dan keangkuhannya
memunculkan wajah munafik dengan membalas kebaikan alam dengan bentuk
keserakahan.
Jauh
melihat kebelakang, alangkah sempurnanya tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia,
masa suci Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Ia berikan akal, nafsu, fisik,
dan dilengkapi dengan qolbu sebagai prasyarat sempurnanya manusia dibandingkan
dengan hewan dan tumbuhan. Dengan bekal
itu, manusia dicitakan mampu menjadi rahmat untuk seluruh warga alam termasuk
kepada alam tersebut. Manusia diciptakan tuhan dengan tujuan menjadi pemimpin
untuk seluruh warga alam.
Dengan
mandat Tuhan yang menjadikan manusia sebagai pemimpin, manusia dipersilahkan
memanfaatkan seluruh sumber daya alam termasuk hewan dan tumbuhan. Mandat yang
begitu besar untuk makhluk sekecil itu. Celakanya
hanya manusia yang berani mengambil mandat dan amanah sebesar itu setelah
gunung yang mengakar dan menjulang tinggi enggan menerimanya. Maka seharusnya dengan mandat sebesar itu
manusia harus bijak dalam setiap keputusan dan
gerak langkahnya.
Ada
banyak alasan mengapa manusia sampai disebut tidak kooperatif bahkan munafik
pada alam. Dimulai dari hal yang strategis hingga taktis, terakumulasi dengan
baik hingga menimbulkan sangkaan bahwa manusia akan tergilas dan akhirnya
punah. Punah bukan hanya berarti matinya
manusia di seluruh sudut alam. Punah di sini juga berarti bahwa manusia akan
kehilangan kepemimpinannya dan sifat
sempurnanya, hingga tiada lagi arti manusia melainkan sekedar seonggok daging
yang digerakkan tulang dan beberapa syaraf.
Maka kemunafikan itu akan menjadi “harakiri, boomerang, senjata makan
tuan” untuk manusia.
Dari
rangkaian kalimat diatas menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah hal yang sangat
utama bagi kelangsungan hidup manusia. Kepemimpinan seorang tokoh dari padang
pasir dibelahan alam timur dan pasukannya sempat menyelamatkan manusia dari
sifat badui dan zaman kegelapan. Namun itu sudah berlalu jauh di masa lalu.
Saat ini, kepemimpinan menjadi krisis kembali dikalangan manusia.
Betapa
tidak, kondisi krisis kepemimpinan dikukuhkan oleh serangkaian kejadian.
Pertama, pemimpin yang diangkat mewakili beberapa manusia dalam suatu kelompok
tidak lagi mempertimbangkan ihwal-ihwal mengapa manusia tersebut dapat diangkat
menjadi pemimpin, semua hanya tentang keserakahan. Kedua, pemimpin menjadikan
manusia, tumbuhan dan hewan serta warga alam lainnya sebagai bahan eksploitasi
tak terbatas, sehingga terdengar smpai ke telinga tuli bahwa manusia berlagak
melebihi Tuhan. Ketiga, syarat-syarat yang telah ditentukan Tuhan melalui
perpanjangan tangan alam dan warga alam enggan dimaklumi. Serangkaian kejadian
tersebut sudah terakumulasikan di dalam alam yang tak berdosa ini.
Ihwal
pertama dan kedua hanyalah sekedar bias dari ihwal terberat, yaitu yang ketiga.
Itu karena dengan buruknya syarat yang dimaklumi oleh setiap manusia untuk
mengangkat pemimpinnya akan mengakibatkan pemimpin tak sadar untuk apa ia
dipilih sehingga sanggup mengeksploitasi setiap hal yang memiliki harga di
dalam pikirannya. Maka, dapat disimpulkan bahwa ihwal ketiga merupakan sumber
dari segala masalah yang berkisar pada kepemimpinan.
Telah
disebutkan, syarat menjadi manusia adalah memberikan rahmat untuk seluruh warga
alam. Maka, pemimpin manusia selayaknya diharuskan untuk mampu lebih dari itu,
yaitu membimbing dan membantu manusia lain untuk dapat menggapai cita-cita
menjadi rahmat untuk seluruh warga alam.
Siapapun yang bersedia menjadi pemimpin manusia, maka ia harus bersedia
menjadi pelayan untuk cita-cita mulia manusia.
Keadaan
manusia dan alam saat ini bagaikan alam di musim kemarau, yakni kering, panas,
hingga menghidupkan lagi sifat badui yang saling merusak untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sama seperti setiap warga alam yang membutuhkan kesejukan
di musim kemarau, bukan air panas. Warga alam akan tambah menderita jika
diberikan air panas di musim kemarau.
Musim
kemarau itu disimbolkan dengan keadaan krisis dalam memilih pemimpin di
kalangan manusia. Jika keadaan ini terus melanggam, maka ini merupakan sinyal
bahaya untuk punahnya suatu kelompok, negara, bahkan alam. Betapa tidak, hanya
manusia yang mampu mengelola dan memimpin suatu kelompok, negara, dan alam.
Jadi, ketika tidak ada lagi manusia yang mampu menjadi pemimpin untuk mengatasi
musim kemarau tersebut, maka dapat dipastikan suatu kelompok, negara, dan alam
akan segera menemui azalnya.
Namun,
jangan sesekali memaksakan suatu hal yang substantif! Jika keadaan mengarah
pada harus dipaksanya suatu hal yang substantif, maka kebijakan yang perlu
diambil adalah perbaikan langsung dari sumbernya. Jangan memberikan air panas
di musim kemarau, Manusia!
Pemimpin akan tetap ada sampai suatu kelompok, negara
hingga alam benar-benar menemui azalnya. Begitupun dengan ihwal mempersiapkan
manusia untuk dapat dijadikan pemimpin sesuai dengan cita-cita alam dan Tuhan.
Maka, manusia sebagai pemimpin adalah wacana yang akan selalu terbicarakan
disetiap sudut alam.
Posting Komentar