Oleh : Fajar Siddik
Tertawa adalah hal yang sangat manusiawi. Karena manusiawi, bagaimana bisa tertawa dapat menyebabkan ketersinggungan? “Mungkin saja, jika tertawamu berlandaskan tangisan dan penderitaan orang lain”, jawab sisi manusiawiku.
Aku adalah manusia biasa yang sangat mungkin untuk salah dan keliru, begitu juga dengan manusia biasa lainnya. Namun aku juga manusia yang pasti punya sifat mengembangkan potensi hingga titik maksimal (nihil kesalahan). Maka untuk menempati suatu posisi yang berpengaruh untuk kemaslahatan manusia lainnya, potensi yang menjadi dasar kriteria, bukan sisi manusiawi.
Tingkat kemaslahatan manusia dipandang dari batas kenegaraan sangat bergantung kepada Presiden dan jajarannya. Jadi, untuk menjadi atau untuk seorang presiden harus mampu memisahkan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara dengan sisi-sisi manusiawinya (manusia biasa). Sebab, ketika tidak mampu memisahkan aktifitas manusiawinya dengan tugas kenegaraannya, ia akan menjadi dewa dan bukan lagi seorang manusia.
Kita ambil contoh tertinggi dalam kehidupan, berinteraksi kepada Tuhan. Jika sisi manusiawinya dibaurkan sebagai bagian kepresidenannya, maka kadar kesempurnaan beribadahnya akan sangat mempengaruhi nasib rakyatnya.
Contoh lain yang lebih sederhana, ketika presiden bermain gapleh. Maka lawan mainnya tidak boleh membiarkan sang presiden kalah. Sebab, ketika ia kalah maka rakyatnya juga ikut terkalahkan. Ini akan menjadi masalah besar jika taruhan dalam permainan tersebut adalah kedaulatan negaranya.
Beberapa hari dan bulan yang lalu, ada penempatan yang tertukar di dalam kehidupan presiden. Ada hal yang semestinya itu merupakan sisi manusia biasanya namun diposisikan sebagai bagian dari kepresidenan. Ada juga hal lain yang justru merupakan bagian dari kepresidenannya, namun ia menggunakan sisi manusia biasanya.
Siapa yang dapat menahan tawa jika duduk dihadapan pelawak dan komik (julukan untuk pelaku stand up comedy). Termasuk seorang presiden, tak akan mampu menjaga kewibawaannya ketika mendengar celotehan pelawak-pelawak tadi. Ketika paradigma presiden mampu membedakan sisi manusia biasa dan sisi kepresidenan, maka ia akan membuang jauh simbol-simbol kepresidenannya dan kemudian tak masalah baginya tertawa terbahak-bahak hingga terjungkal. Begitupun jika rakyatnya memiliki paradigma yang sama dalam memandang perbedaan antara sisi manusia biasa dan sisi kepresidenan.
Masalah timbul ketika presiden mengundang para pelawak dan komik dalam agenda kepresidenan beberapa hari lalu dengan menggunakan sisi-sisi kepresidenannya. Maka sebagai rakyat yang bertanggung jawab, aku menilai bahwa dalam hal ini presiden keliru dan membahayakan nasib rakyatnya.
Masalah tadi semakin membesar dengan kondisi sebaliknya, presiden menggunakan sisi manusia biasanya di dalam masalah kenegaraan beberapa bulan lalu. Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara harus “duduk” pada posisi yang mewakili segala kemaslahatan dan kepentingan rakyatnya. Jadi, segala masalah di dalam negaranya adalah “urusan presiden”. Apa daya, rakyat dibuat lemas ketika mendengar pernyataan “ini bukan urusan saya” dari presiden ketika dihadapkan dengan masalah-masalah yang menyangkut kemaslahatan rakyat. “Ini bukan urusan saya” seharusnya menjadi pernyataan untuk manusia biasa dalam struktur sosial terendah di negara kita ini, bukan untuk seorang presiden.
Apabila kita mengamati jauh ke belakang, kesalahan ini tidak mutlak milik presiden. Kita sebagai rakyatnya ngekor mengeksistensikan kesalahan itu. Orang-orang terdekatnya juga termasuk rakyatnya. Baik kita yang jauh dengannya dan orang-orang terdekatnya enggan melepaskan pemikiran yang mengarah pada menyimbolkan segala aktifitas presiden merupakan bagian dari tugas kepresidenan. Kita masih menganggap misalnya ketika presiden ingin memperpanjang SIM (Surat Izin Mengendarai), sedang liburan dengan keluarga, bahkan sedang tertawa, yang melakukan tadi adalah presiden dan bukan manusia biasa yang memiliki kebutuhan-kebutuhan manusiawi.
Sudah saatnya rakyat dan aparatur negara mampu berperan dan berfungsi sesuai dengan porsi struktur dan sosialnya. Rakyat jangan selalu ngekor dan aparatur negara juga jangan mempertahankan ndablegnya. Cerdaslah dan cerdasakanlah rakyat.
Jika aku diberikan kesempatan, sekali saja, berjumpa presiden, ada hal penting yang ingin ku sampaikan. Bukan menyampaikan kalimat yang tersusun secara indah nan elok, bukan juga cengengesan untuk menyenangkan persepsi sensual presiden. Aku hanya ingin menyampaikan, “Tertawa kita sama, pak presiden! Tugas dan fungsi kita di struktur negara yang berbeda”.
#SeranganFajar
Posting Komentar