Dewasa ini dunia tidak lagi berjalan dengan “anggun”, lenggak-lenggok
“aneh” mulai dipertontonkan kepada setiap makhluk hidup. Entah keadaan ini
memang merupakan “hukum alam” atau aku saja yang terlalu hiperbola. Apapun itu,
kita harus waspada dengan “keanehan” dunia, baik sudah ataupun segera.
Kita sedang
membicarakan dunia dalam perspektif sosial, bukan dalam perspektif kosmologi.
Dalam perspektif sosial, pergeseran nilai-nilai dari perjalanan dunia penuh
inkonsistensi dan cenderung sulit untuk diprediksi. Berbeda dengan dunia dalam
kajian kosmologi, telah ditemukan instrumen-instrumen dari pendekatan teoritis
untuk mengkajinya. Maka, diperlukan kajian-kajian dengan intensitas “padat
merayap” demi melihat perjalanan “sosial” dunia.
Curang jika hanya aku yang mengetahui beberapa contoh lenggak-lenggok “aneh” tadi, pembaca
juga mesti tahu. Karena ini hanya bacaan ringan, maka aku tidak menuntut
terlalu banyak kepada pembaca untuk menguras pikirannya dalam
menginterpretasikan contoh-contohnya. “Aneh” yang pertama, rumah makan Padang
tapi juru masaknya dari Papua (hehehe). Kedua, perbandingan antara perempuan
dan laki-laki semakin tidak stabil, perempuan lebih mendominasi. Ketiga,
menjelang hari ibu dan di hari ibu, penghargaan pada seorang manusia mulia itu
hanya bersifat ceremony. Kenapa hanya
tiga? Karena tulisan ini akan membawa kita untuk berkontemplasi atas peringatan
hari ibu. Sekedar pemberitahuan, contoh pertama hanya sebagai penghias pelipur
lara.
Kembali kepada pokok pembahasan, setiap tahun pada bulan
desember hari ke-22 selalu diperingati sebagai moment hari ibu. Kenapa sampai bisa ditetapkan adanya hari ibu dan
kenapa pula kita tetap harus memperingatinya? Pertanyaan ini sama dengan, “kenapa
sampai ditetapkan hari kemerdekaan dan kenapa pula harus selalu diperingati di
tanggal yang sama?”. Jawabannya pun sama, karena kita perlu tahu kenapa sesuatu
menjadi “ada” dan apa saja problematika teraktual ketika “ada” itu sudah ada.
Bukan tanpa alasan yang mendasar ditetapkannya tanggal 22
desember sebagai hari ibu. Bukan hanya sekedar perwujudan dari hegemoni para
ibu. Ada hal yang kadar urgenitasnya sangat menentukan nasib para perempuan.
Indonesia memang terlalu jawa. Hal ini senada dengan apa
yang dikatakan Parakitri T. Simbolon dalam “Menjadi Indonesia” bahwa Indonesia sejak
terkena dampak ekspansi bangsa Belanda hingga merdeka menjadikan Pulau Jawa
sebagai pusat pembangunan struktur dan infrastruktur.
Karena Indonesia memang terlalu Jawa, menyebabkan pengaruh
etnik yang cukup kental untuk seluruh raykat Indonesia. Hubungan budaya Jawa dengan
ibu dan keperempuanan terletak di budaya penolakan terhadap kesetaraan gender bahkan menjadikan ibu/perempuan
sebagai subordinat para ayah/lelaki. Ibu hanya berhak “mengurusi dapur” dan
mengasuh anak. Untuk selebihnya, ibu bagaikan ternak yang diikat lehernya oleh
ayah. Dipandang dari sisi sosial dan agama, ibu/perempuan bukanlah “peliharaan”
siapapun. Ibu/perempuan adalah manusia yang juga berhak berpikir dan bertindak
secerdas para lelaki.
Di abad ke-19, hegemoni kesetaraan gender mulai marak dan menyebarkan pengaruh ke setiap sudut bumi.
Syukur kepada Tuhan, kaum perempuan di Indonesia berhasil memaanfaatkan
hegemoni tersebut hingga perlahan mengikis ketidaksetaraan gender di negerinya. Para
ibu pun mulai mengaktualisasikan kecerdasan berpikir dan bertindaknya.
Klimaksnya, tanggal 22 desember diresmikan sebagai hari ibu oleh Presiden Soekarno di bawah Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953, pada ulang
tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928.
Tahun-tahun terus berlalu hingga konsep dan praktik Poligami
dijadikan sebagai problematika ibu/perempuan. Ada pihak yang mendukung
sekaligus menolak konsep dan praktik tersebut. Itu wajar, sebab ada yang
menggunakan konsep dan praktik poligami secara bijak dan benar serta ada pula
yang menggunakannya sebagai pemuas nafsu birahi belaka.
Sejak zaman arab kuno, ketidakseimbangan jumlah antara perempuan
dan lelaki sudah menjadi problematika serius. Pada masa itu perempuan sudah
lebih pesat jumlah pertumbuhannya dibandingkan dengan jumlah lelaki. Begitupun
masa modern ini, Rusia menjadi salah satu contohnya. Rusia menjadi negara yang
paling tak seimbang demografinya. Tidak terlepas kondisi demografi di
Indonesia.
Maka dari sisi demografi, poligami adalah salah satu solusi yang
tepat untuk menghindarkan keterlantaran para perempuan (baca: tak ternafkahi). Namun
tak benar jika poligami dijadikan sebagai alasan untuk menyalurkan hasrat
memiliki perempuan semok agar dapat
disenggama. Kemudian menelantarkan istri “tua” karena sudah tidak semok lagi.
Selama poligami diinterpretasikan dengan tujuan yang mulia dan
bertamengkan kesiapan moril dan materil, maka jadikan itu sebagai solusi untuk
mengatasi kemungkinan tak ternafkahinya banyak perempuan. Namun, ketika tidak
dapat memastikan keadilan berada pada sisi rohani dan jasmani, maka cukuplah
cintai satu perempuan sebagai istrimu.
Ibu adalah manusia mulia yang dijadikan Tuhan sebagai wadah
tumbuhnya janin menjadi seorang bayi. Kemudian diteruskan dengan membesarkannya
dengan begitu ikhlas hingga sang bayi tadi menjadi tokoh-tokoh hebat yang
berkemungkinan berperan untuk kemajuan bangsanya. Maka hormatilah dan
sayangilah ia dengan penuh keiklhasan. Sebab yang bersifat ceremony sering menjadi ajang untuk menunjukkan perilaku riya dan
berharap pamrih.
#KadoUntukParaIbuDanCalonIbu
#SeranganFajar
Posting Komentar