Oleh: Fajar Siddik


Kepingan-kepingan puzzle akhirnya telah tersusun apik. Ya, “tersusun”, karena diawali “ter” dan diikuti kata kerja, maka proses terjadi dengan begitu murni tanpa rekayasa. Para penikmat gambar kembali menemui kekecewaan yang telah menjemu di mata mereka. Kepingan-kepingan puzzle tadi tersusun membentuk gambar “Negara Sandiwara”, bukan hal baru.

“Negara sandiwara” ini terletak di antara benua Asia dan Australia, terdapat sumber daya alam yang kaya di kandung bumi dan airnya. Dibalik kekayaan sumber daya alam, satu primadona yang sangat berkilau dan selalu panas dibicarakan dari dekade ke dekade mulai dari zaman orde baru (zaman yang katanya “penak zamanku toh?”). Primadona ini juga dapat menyelesaikan semua masalah kemiskinan di “Negara sandiwara” katanya. Primadona ini adalah emas dan terkandung begitu melimpah di tanah cenderawasih, tanah paling timur negeri ini.

Lakon di penghujung desember ini menjadi menarik untuk diulas karena rias menor dan acting konyol para pemerannya. Tidak seperti dekade-dekade sebelumnya, rias dan acting yang ditampilkan begitu sangar dan menakutkan, hingga ketertarikan untuk mengulasnya tidak begitu menarik. Hal tersebut mungkin disebabkan lahirnya dan diplroklamirkannya “Negara sandiwara” ini dengan penuh kesangaran, ketakutan, hingga perjuangan berdarah. Maka, dengan lakon yang sangat konyol dan jauh dari paras sangar dipandang sangat menghina keintelektualan rakyat negeri ini. Sangat perlu diulas bahkan digugat dengan landasan “kekuasaan berada di tangan rakyat”.

Kekonyolan dimulai saat salah satu petinggi negara bagian kekayaan alam di negara ini melaporkan petinggi utama pemerintahan kepada MKD (Majelis Kekonyolan Dewan) atas dugaan pencatutan nama petinggi utama negara terkait kontroversi saham kontrak Freeport. Pertanyaan yang pertama kali muncul atas pernyataan itu adalah “dimana letak kekonyolannya?”.

Pertama, petinggi negara dan petinggi pemerintahan adalah struktur yang harus saling bersinergi. Ketika ada hal-hal terkait masalah negara yang strategis dan vital, nilai-nilai koordinatif harus membalut keduanya, bukan inkomunikatif. Jika ada pelanggaran di antara keduanya, itu berarti masing-masing pihak tidak memfungsikan diri dengan benar. Maka, hal konyol ketika salah satu petinggi negara melaporkan kesalahannya sendiri.

Kedua, Majelis Kekonyolan Dewan tadi mempertunjukkan tontonan lawak. Para penonton dibuat tertawa karena tingkahnya. Namun, ada sisi positif yang dapat diambil yaitu Majelis Kekonyolan Dewan tadi telah memfungsikan namanya dengan benar.
Kekonyolan selanjutnya adalah lemahnya skenario yang telah disusun oleh sutradara. Akibatnya, para penonton lebih awal mengetahui akhir dari cerita sandiwara ini. Penonton sama-sama telah menebak bahwa akhir dari cerita ini adalah keantengan Freeport “memperkosa” tanah cenderawasih. Penonton hanya tinggal menunggu, siapa yang akan menjadi “pengikat leher” dan siapa yang menjadi “terikat leher”.      

Klimaks kekonyolan dari serentetan skenario ini adalah objek pengalihan perhatian penonton yang menghina intelektualitas rakyatnya, yaitu prostitusi artis. Sontak beberapa penonton terpaksa mengikuti alur cerita dari prostitusi artis. Bahkan dibawa ke dalam segmen ILC (Indonesia Linglung Club).

Berbeda dengan pertunjukan dengan keterkaitan masalah freeport di masa lampau. Di masa orde baru, rakyat di tanah cenderawasih dipaksa berstatus pengganggu keutuhan negara untuk menyelamatkan suksesnya pertunjukan freeport. Di era pasca reformasi, untuk memuluskan pertunjukan freeport, petinggi negara yang tidak sempurna secara fisik tapi memiliki nilai-nilai sosial dan plural yang tinggi harus terjungkal keluar istana menggunakan celana pendek dan baju santainya.

Ini semua hanya tentang siapa yang berhasil memegang “leher” siapa, muaranya tetap kelancaran memperpanjang kontrak freeport tanpa gejolak-gejolak di “akar rumput”. Maka perlu diberikan himbauan kepada seluruh penonton, jangan habiskan energimu untuk pertunjukan konyol yang sudah tertebak akhir ceritanya.

“Kongkalikong dengan kaum cukong”,  penggalan puisi Widji Tukul ini selalu abadi di mata, telinga dan kepala kita. Rakyat hanya boleh tahu apa yang harus diketahui. Tidak boleh mengetahui apa yang harus diperjuangkan.


#SeranganFajar

Posting Komentar

 
Top