Oleh Fajar Siddik

Padang yang luas terhampar rerumputan segar termaktub sebagai lumbung kebahagiaan segerombolan gembala. Gembala berkompaskan suatu yang lain di luarnya. Begitu arus langgam buah dari pembiasaan dalam hiruk pikuk padang rerumputan di bawah “payung” langit.

Bak daratan, tak boleh memasang sikap lugu ketika menatap langit cerah. Lugu ketika daratan hanya percaya bahwa kubangan air tidak akan datang kepadanya. Tidak lugu ketika daratan tetap membuat selokan-selokan guna mengantisipasi adanya kubangan kotor yang menodai. Sebab langit cerah dapat berubah seketika menjadi lautan langit hitam yang beranakkan badai.

Begitu dengan pemaknaan gembala, memasang sikap lugu adalah kemalangan untuk setiap yang memaknai. Lugu ketika memaknai gembala berhenti pada sekumpulan binatang ternak. Tidak lugu ketika memaknai gembala pada substansi kesesuaian tragedi. Sebab, makna gembala adalah segerombolan apapun yang dapat digiring ke arah tujuan si penggiring yang sejatinya berada di luar kesatuan gembala tersebut.

Cerita tentang gembala yang dimaknai sebagai segerombolan binatang ternak tidak mendapat tempat untuk menjadi alur cerita utama. Sebab binatang ternak tidak dapat membaca dan peternak tak perlu diajarkan lagi cara menggembala.  Maka ini adalah cerita tentang penggembalaan nasib manusia dan sekelilingnya.

Ketidakwajaran adalah sesuatu yang wajar masa kini. Sejatinya manusia adalah makhluk dinamis yang dapat menentukan nasibnya masing-masing. Namun ketidakwajaran yang menjadi wajar datang kepada manusia ditandai dengan digembalanya manusia. Digembala untuk masuk ke dalam nasib yang telah ditentukan si penggembala. Manusia pun senang bahkan sesekali berpesta untuk ketidakwajarannya.

Bercerita tentang nasib dan manusia serta segala sesuatu disekelilingnya sering dihubungkan dengan “sesuatu” yang sangat sakral, Tuhan! Entah bagaimana para manusia mengartikan kekuasaan Tuhan. Bagiku, Tuhan adalah zat yang paling adil. Bahkan keadilan itu tidak terbatasi oleh kuasanya sendiri. Kuasanya berhenti pada memicu serangkaian peristiwa terciptanya alam semesta dan peradaban.  Sifatnya juga maha pengasih dan penyayang, dengan itu tidak dibiarkannya alam semesta dan peradaban di dalamnya menjadi kapal tanpa kompas di tengah samudera yang luas. Maka, kuasanya yang lain adalah memberikan sebuah kompas yang berikutnya dimaterikan sebagai sebuah petunjuk sakti. Kuasa Tuhan secara umum berhenti pada tahap memberikan tempat (peluang) dan petunjuk, selebihnya manusia yang berdinamika untuk segala hasil yang diharapkan maupun tidak.

Jika dihubungkan tentang manusia, nasib dan tuhan, begitu sombongnya sang penggembala nasib itu dan durhakanya manusia yang mau digembala nasibnya. Tuhan yang memiliki segalanya membiarkan manusia menentukan sendiri nasibnya. Sang penggembala berani melampaui kuasa tuhan dengan menggiring sekumpulan manusia ke arah padang rumputnya. Para manusia durhaka karena mengikuti arah padang ruput sang penggembala nasib dan menghiraukan arah dari petunjuk sakti Tuhan.

Pada akhirnya, aku tak sanggup menahan kegundahan setelah melihat ketidakwajaran yang diwajarkan ini. Dilema datang ketika aku masih ragu akan keyakinan dan kemampuan dalam merusak sistem sang penggembala nasib itu. Keraguan itu datang setelah datang bukti yang berbentuk kematian materi dan moril para pemberontak sang penggembala nasib.

Aku putuskan untuk merenung sejenak. Karena kata guru baruku, merenung tidak selalu sia-sia. Sebaik-baik merenung adalah berimajinasi untuk membentuk sebuah paradigma yang harus diintepretasikan katanya.

Setelah merenung, buih-buih paradigma menggumpal membentuk sebuah keputusan. Keputusan yang ku ambil adalah menjadi sang penggembala nasib juga. Tapi aku tidak serupa dengan penggembala nasib yang telah diceritakan di atas. Aku adalah manusia ciptaan Tuhan. Maka aku akan jadi penggembala nasib untuk diriku sendiri, bukan untuk sekumpulan manusia lainnya. Ku gembala nasibku dengan mengikuti petunjuk Tuhan dan peluang yang diberikannya. Tujuanku adalah padang rumputku sendiri, yaitu padang rumput yang dirancang Tuhan untuk lumbung kebahagiaan manusia.

Bagaimana dengan kamu dan kalian? Masih bertahan untuk durhaka pada Tuhanmu dengan tetap menjadi gembala, menjadi sombong bak sang pengembala nasib tadi, atau menjadi serupa dengan aku? Untuk dapat menjawabnya, kau harus mulai dari sebuah keraguan dan kemudian merenunglah sebaik mungkin. Jawaban telah kau temukan ketika muncul interpretasi atas paradigma memberontak dari segala penggembalaan atas nasibmu.     

#SeranganFajar    

Posting Komentar

 
Top